( Opini ) Trilema
By Admin
Oleh: Ruhul Maani
Pemerhati Kebijakan Publik Anggota G4NKRI, GNKRI dan Sekjend SANTRI MERAH PUTIH
nusakini.com - Seberapa sering anda menghadapi dilema? Tentu sering sekali dalam hidup, kita harus mengorbankan satu di antara dua pilihan untuk memilih satu yang lain. Tapi seberapa sering anda berhadapan dengan trilema? Dilema bermata tiga. Anda harus mengorbankan satu diantara tiga pilihan untuk memilih dua yang lainnya.
Rumitnya pilihan hidup memang selalu berjalan seiring dengan semakin dewasanya kita menghadapi masalah, serta semakin rumitnya masalah-masalah tersebut. Trilema pasti dialami oleh semua orang di berbagai tingkatan. Di tingkat masyarakat awam, saat hendak pesan kaos ormas atau parpol misalnya, mungkin kita akan diharuskan memilih 3 pertimbangan. Pilihan pertama “WAKTU”, Pilihan kedua “KUALITAS”, dan Pilihan Ketiga “HARGA”.
Ketiga pilihan tersebut saling berkaitan antara satu sama lain. Tapi mustahil untuk bisa diselamatkan semuanya. Kita harus mengorbankan satu pilihan untuk menyelamatkan 2 pilihan lainnya. Jika kita ingin pekerjaan CEPAT dan MURAH, maka kita harus korbankan KUALITAS. Jika kita ingin KUALITAS bagus dan CEPAT pengerjaannya, maka jangan bermimpi mendapatkan HARGA murah. Dan jika kita mengharapkan KUALITAS BAGUS dan MURAH, maka bisa dipastikan selesainya tidak bisa CEPAT.
Dalam tataran pasar finansial, trilema ini dikenal dengan sebutan “the impossible trinity”. Trinitas tersebut adalah KURS VALAS, KEBIJAKAN MONETER, dan ARUS MODAL.
Ok. Saya tahu bahwa trilema pada level makroekonomi ternyata jauh lebih abstrak dan lebih sulit dicerna daripada trilema di level awam seperti pemesanan kaos parpol tadi.
Tiga trinitas makroekonomi tadi semuanya saling berkaitan. KURS mata uang sangat bergantung pada KEBIJAKAN MONETER yang berkenaan dengan naik turunnya Suku Bunga. Jika suku bunga dalam negeri terlalu rendah, maka pemilik uang akan menarik MODALnya keluar dari Indonesia untuk ditanamkan di negara lain seperti Jepang, Cina, Inggris, Eropa atau Amerika.
Dalam kasus seperti hari ini, Amerika menetapkan suku bunga yang tinggi. Sangat menggiurkan bagi pemilik uang untuk memburu dollar karena bunga tinggi. Investor ramai-ramai meninggalkan Rupiah dan beralih ke dollar. Harga rupiah pun menjadi semakin murah karena sepi peminat.
Impossible Trinity mengharuskan sebuah negara untuk mengorbankan kurs mata uangnya jika ingin berdaulat secara moneter (bebas menaikkan atau menurunkan suku bunga) dan Menarik pemodal asing masuk untuk membiayai pembangunan. Inilah yang dipilih Indonesia. Rupiah terpaksa dikorbankan, terpapar oleh fluktuasi finansial global demi menjamin kedaulatan moneter dan kuatnya daya pikat bagi investor asing.
Halnya dengan Cina, Negara ini mengorbankan kendali terhadap arus Modal untuk memilih mempakemkan kursnya dan tetap berdaulat secara moneter. UK lain lagi. Negara ini memilih untuk mengorbankan kedaulatan moneter nya demi kurs yang tetap dan Arus modal terkendali.
Impossible Trinity juga terjadi pada level yang lebih makro dari sekedar makrofinansial. David Rodrik sudah memetakan seperti apa trilema berlaku di level Ekonomi-Politik Global. Trinitas pada level ini, terdiri dari EKONOMI TERBUKA, DEMOKRASI, dan KEDAULATAN NEGARA. Trilema pada level ini mengatakan bahwa jika sebuah negara menghendaki EKONOMI YANG TERBUKA alias GLOBALISASI maka harus mengorbankan entah KEDAULATAN NEGARA nya atau DEMOKRASI nya.
Jadi apa kunci sukses untuk keluar dari jebakan trilema ini? Kuncinya satu; Rencana dan Tujuan yang jelas.
Pada level awam tadi, Trilema antara WAKTU, KUALITAS, dan HARGA, tergantung pada Rencana, dan Tujuannya. Jika Acara Kampanye masih lama dan anggaran tipis, maka harus rela menunggu agak lama, demi mendapatkan kualitas yang bagus dan harga yang murah. Jika waktu mendesak, maka harus pilih antara kualitas bagus, atau rogoh kocek lebih dalam.
Pada level makro ekonomi, Indonesia saat ini sedang membutuhkan investasi besar-besaran untuk Tujuan Pembangunan yang sangat mendesak dalam rangka mengejar ketertinggalan. Maka, kita butuh arus modal yang besar dan suku bunga yang independen. Konsekuensinya, kita harus rela kurs rupiah fluktuatif. Meskipun sebetulnya, technically speaking, BI masih harus menyesuaikan fluktuasi BI rate dengan The Fed Rate, supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sama saat Indonesia terlena dengan Quantitative Easing tahun 2013 dulu. Itu artinya tingkat Independensinya tidak benar-benar independen. Bisa dibilang “Semi-Independen”.
Paparan diatas hanyalah secuil dari kompleksitas pengelolaan negara yang disederhanakan dengan pendekatan kerangka trilema, atau “Impossible Trinity”, atau David Rodrik menyebut teorinya “Impossible Theorem”. Apapun sebutannya, yang jelas, terdapat ribuan komponen yang harus diperhitungkan dalam memutuskan sebuah masalah. Tidak sesederhana keputusan memesan kaos kampanye.
Mengutip tweet Faisal Basri, Indonesia memang sedang menghadapi tantangan besar, tapi ekonomi Indonesia tidak bobrok. IMF sendiri mengatakan bahwa yg mengalami kerentanan ekonomi tidak hanya Emerging Market (ekonomi negara berkembang) saja, tapi juga semua negara di seluruh dunia.
Ditambah lagi, tantangan tahun ini hingga ke depan semakin berat. Ada ancaman eskalasi perang dagang dan kenaikan harga minyak mentah. Ini akan semakin menekan rupiah.
Pemerintah sudah melakukan banyak hal di berbagai sektor. Misalnya, di sektor keuangan, RDG BI per 27 september 2018 sudah menetapkan BI Reverse Repo Rate menjadi 5,75% naik 25 Basis Points (BPs) dari yg sebelumnya 5,5%. Ini untuk merespon kenaikan suku bunga the fed.
Di sektor energi pemerintah juga telah menjalankan kebijakan B-20. Meski masih berjalan terseok-seok, tapi kebijakan ini harus diusahakan dapat berjalan lancar mengingat, banyak memberikan manfaat yang baik bagi lingkungan maupun cadangan devisa.
Di sektor Industri, kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) akan dinaikkan guna mengurangi ketergantungan terhadap komponen luar negeri.
Mengingat, rumitnya mengurus pemerintahan, sebagai warga negara yang memang peduli dengan pembangunan nasional, kita bisa berkontribusi dengan cara Aktif maupun Pasif. Dengan cara aktif berarti ikut serta berkontribusi dalam ekonomi. Bisa dengan beternak sapi, atau bertani bawang, atau membuka jasa binatu, atau mungkin juga membuka warung nasi.
Dengan cara pasif, kita cukup dengan bersikap diam. Artinya, dengan suhu politik yang semakin memanas menjelang Pilpres ini, kita tidak perlu ikut berkomentar tentang hal-hal yang tidak kita pahami. Cukuplah kita pasrahkan saja kepada ahlinya masing-masing. Tentu kita tidak ingin kekeruhan opini publik menjadi amunisi untuk lahirnya hoax dan dimuntahkan sebagai senjata politisi, bukan?
"Karena orang-orang dungulah terjadi banyak kontroversi di antara manusia. Seandainya orang-orang yang bodoh berhenti bicara, niscaya berkuranglah pertentangan di antara sesama." (Imam al-Ghazali dalam kitab "Faishilut Tafriqah bainal Islâm wal Zindiqah").